Ulumul Quran, tafsir dan ushul tafsir

|

PENDAHULUAN
           
            Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
            Sudah semestinya, seseorang yang beragama Islam harus belajar tentang pemahaman terhadap induk ajarannya . Begitu pentingnya belajar dan mengajarkan al-Quran sampai-sampai Nabi Muhammad saw turun langsung dan para sahabatnya tekun belajar mengajarkan al-Quran. Ayat-ayat al-Quran turun silih berganti ke bumi ini memakan waktu selama dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya.
            Apalagi dewasa ini munculnya kaum orientalis yang berkeinginan menghancurkan islam dari dalam semakin giat, Kajian orientalis terhadap al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otentisitinya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an (‘theories of borrowing and influence’). Ada yang berusaha mengungkapkan segala yang boleh dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut, seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristian (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain), dan ada pula yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka mengatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat. Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson: “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings–largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Walau bagaimanapun, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas Umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an, apatah lagi membuat mereka murtad.
            Untuk itu kita generasi umat, perlu kiranya memahami dan mendalami Al-Quran dengan seutuhnya, Agar agama ini tetap berdiri kokoh di bumi Allah, sebagai jalan petunjuk kehidupan umat manusia.




           
PEMBAHASAN


A.    ULUMUL QUR’AN

Pengertian Ulumul Qur’an

            Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.  Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.          Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :

1. Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من  جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.

2.Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:
مباحث تتعلّق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشّبه عنه ونحو ذالك.
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
            Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.

Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an

            Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)

Pokok Pembahasan
                        Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1.    Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.

2.    Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
a.       Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut  asbabun nuzul dan sebagainya.
b.      Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
c.       Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
d.      Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
e.       Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
f.       Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an

                        Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
                        Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
                        Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
                        Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.

B. ILMU TAFSIR

Pengertian Tafsir

                        Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar. Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
                        Jadi, Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an.Ilmu tafsir merupakan bagian pengkajian al-Quran dilihat dari sisi bahwa ia merupakan kalam (ucapan ) yang memiliki makna tertentu, kemudian ilmu tafsir menjelaskan lebih lanjut arti dari makna lafadz, dan memberikan rincian akan tanda-tanda dan maksud dari lafadz tersebut. Oleh karena itu, ilmu tafsir merupakan ilmu ulumul quran yang paling penting dan paling asa dari ilmu Ulumum quran lainya. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama, dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmu.

Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )

1. Tafsir bil-ma’tsur
                        Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt
                        Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat, telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat.
            Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Serta  juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
                        Imam Hakim berkata:  Sesungguhnya tafsir para Shahabat dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.



2. Tafsir bir-ra’yi
                        Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
                        Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain.
Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:

- Tafsir Mahmud
- Tafsir Madzmum

a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.

b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat. Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)

Firman Allah lagi:
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)
Juga sabda Rasulullah saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:
“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.

3. Tafsir Isyari
                        Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.



4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )

                        Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya
1. Metode Tahlili (Analitik)
                        Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
                        Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)
                        Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

3. Metode Muqarin
                        Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhu’i (Tematik)
                        Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
C.    USHUL TAFSIR

Pengertian     Ushul Tafsir
                        Ushul tafsir terdiri dari dua kata yaitu al ushul dan at tafsir. Al ushul adalah bentuk jamak dari kata al ashlu. Al ashlu secara bahasa bermakna bagian paling bawah  dari sesuatu, bagian dasar dari sesuatu dan apa yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain. Sebagian ahli bahasa yang lain mengatakan bahwa makna al ashlu adalah apa yang selainnya membutuhkannya dan tidaklah ia membutuhkan kepada selainnya. Kata yang mendekati makna al ashlu adalah al Qô'idah yang bermakna pondasi yang dibangun diatasnya suatu rumah.
                        Secara etimologi tafsir  bermakna berasal dari kata fasaro yaitu bermakna kejelasan sesuatu dan penjelasannya. Termasuk pada pengertian ini adalah penyingkapan makna yang tersembunyi. At tafsir secara istilah bermakna penjelasan tentang kalam Allah yang merupakan mu'jizat dan diturunkan kepada Muhammad shalallahu'alaihi wa sallam.
                        Sedangkan secara terminologi Ushul tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Qur’an yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul qur’an yang paling penting karena sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan i’tikad (tauhid, akidah) yang benar.
                        Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan : “Jika ada orang bertanya : ‘Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka jawabnya : ‘Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Apabila engkau tidak mendapatkan penafsirannya pada Al-Qur’an, maka tafsirkanlah dengan sunnah (hadits), karena sesungguhnya ia memberi penjelasan terhadap Al-Qur’an. Apabila tidak engkau temukan tafsirnya dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah kepada perkataan-perkataan sahabat Nabi SAW, karena mereka paling mengetahui sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al-Qur’an dan situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari Nabi. Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Al-Qur’an dan sunnah serta tidak ada pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujuk perkataan tabi’in…”

Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
                        Metode ini berdasarkan contoh dari Rasulullah. Ketika para sahabat membaca firman Allah :
“Mereka yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanannya dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat kemananan dan mereka mendapat petunjuk” (QS : 82).
                        Para sahabat bertanya kepada Rasulullah : “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri ?” Nabi menjawab : “Tidak seperti yang kalian sangka, kezaliman yang dimaksud adalah syirik. Tidakkah engkau membaca ucapan hamba yang saleh (Luqman) :
 “Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang sangat besar”. (QS Luqman  : 13).
Firman Allah dalam QS Al-Fatihah :
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat”
Siapakah yang dimaksud orang-orang yang diberi nikmat ? maka tafsirnya ada pada ayat Al-Qur’an yang lain, yaitu QS An-Nisa’ ayat 69 :
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-Nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.

Tafsir Al-Qur’an dengan sunnah (hadits)

Peran (hadits) Rasulullah terhadap Al-Qur’an :
1. Menjelaskan bagian yang masih global (mujmal).
2. Mengkhususkan (men-takhsis) yang masih umum (‘amm).
3. Menjelaskan arti dan kaitan kata-kata tertentu.
4. Memberikan ketentuan tambahan dari aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
5. Menjelaskan nasakh (menghapus) ayat.
6. Menegaskan hukum-hukum yang telah ada.

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah  43 :
“…dan dirikanlah shalat…”
                        Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhari).

Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan sahabat Nabi (Qaul Sahabi).

                        Sahabat nabi adalah generasi terbaik yang beriman dan diridloi Allah, bertemu langsung dengan Nabi dan ikut menyaksikan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitan turunnya dengan ayat yang lain. Mereka mempunyai kedalaman pengetahuan dari segi bahasa, saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran manhaj, kuatnya keyakinan, apalagi jika mereka telah melakukan Ijma dalam suatu penafsiran.
Firman Allah dalam QS An-Nur [24] : 31 :
“Hendaklah mereka tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh tampak darinya”
Ibnu Abbas menafsirkan yang boleh tampak itu adalah : “wajahnya, kedua telapak tangan dan cincin”
           
Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in.

                        Tabi’in bertemu langsung dengan para sahabat Nabi dan mengambil ilmu dari mereka. Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang menjadi muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.
                        Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
                        Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi muridnya antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
                        Sufyan Tsauri berkata : “Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu”. Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya”. Az-Sahabi berkata : “Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar”.
                        Diantara tokoh-tokoh tabi’in Mujahid merupakan yang paling menonjol dan perkataannya banyak diikuti mufasirin sesudahnya. Tentunya harus diseleksi sanad-sanad atsar yang disandarkan kepada mereka, bila sahih maka layak untuk diikuti.

















KESIMPULAN

1.      Ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
2.       Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an.Ilmu tafsir merupakan bagian pengkajian al-Quran dilihat dari sisi bahwa ia merupakan kalam (ucapan ) yang memiliki makna tertentu, kemudian ilmu tafsir menjelaskan lebih lanjut arti dari makna lafadz, dan memberikan rincian akan tanda-tanda dan maksud dari lafadz tersebut. Oleh karena itu, ilmu tafsir merupakan ilmu ulumul quran yang paling penting dan paling asa dari ilmu Ulumum quran lainya.
3.      Ushul tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Qur’an yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul qur’an yang paling penting karena sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan i’tikad (tauhid, akidah) yang benar.











DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahid Ramli.Drs, Ulumul Qur’an, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Nata Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992
Abdul Halim M, Memahami Al-Qur’an, Marja’, Bandung, 1999
Shaleh K.H, Asbabun Nuzul, C.V Diponegoro, Bandung, 1992
M.Baqir Hakim, Ulumul Quran, Al-Huda, Jakarta, 2006


perkembangan hadits pada masa nabi dan sahabat

|

BAB I
PENDAHULUAN

Ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi: Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bisa diamalkan dengan benar dan tepat tanpa bantuan keterangan dari Sunnah Nabi SAW. Demikian yang dikehendaki Allah SWT atas agama ini.
Bukti sederhana saja, dapatkah kita melakukan shalat lima waktu dengan benar tanpa mempelajari Sunnah? Tentu saja tidak. Sebab Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci detail-detail cara melakukan shalat. Al-Qur’an hanya menjelaskan pokok-pokok masalah saja, di mana disebutkan bahwa shalat lima waktu adalah wajib hukumnya.
Itulah salah satu contoh yang melukiskan pentingnya pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah SAW. Mengingat pentingnya Sunnah ini, tak heran jika Imam Abu Hanifah berkata:”Tanpa Sunnah tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an.”
Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an sebagaimana Firman Allah Surah an-Nisa' ayat 80
Artinya: "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." 
Kemudian firman Allah SWT dalam Surah al-Hasyr ayat 7:
Artinya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah." Kemudian, Firman Allah SWT dalam Surah al-Anfaal ayat 20:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)." 
Jadi, mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya, oleh sebab itu segala macam hadits yang sudah teruji keshohihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengikuti dan mengamalkannya sebab hadits merupakan hasil penjelasan dari al-Qur'an itu sendiri.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya yaitu:
Artinya: "Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur'an dan Sunnhaku". (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah) 
Oleh sebab itu, memahami Hadits secara jelas dan hati-hati merupakan keharusan bagi umat Islam, selain memahami hadits maka harus diperhatikan tingkat kebenaran hadits tersebut sehingga kita dapat menentukan status hadits (Shoheh, dhaif, hasan dan lain-lain) maka kita dapat memilih mana hadits yang layak diungkapkan atau tidak.
Mempelajari hadits Nabi SAW mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya bahwa orang yang mempelajari dan menghafal hadits-haditsnya akan dianugerahi oleh Allah SWT wajah yang bercahaya, penuh dengan pancaran nur keimanan yang menandakan ketenangan hati dan keteduhan batin. Sabda beliau SAW:”Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, kemudian menghafalnya dan menyampaikannya ” (Abu Daud dalam Sunannya dan At-Tirmidzi dalam Sunannya).









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Pada Zaman Nabi.

Kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah di kenal sejak zaman Jahiliyah, walaupun masih sangat tervatas. Pada dasarnya pada masa rasulullah sudah banyak umat islam yang membaca dan menulis, bahkan rasul sendiri memiliki sampai 40 orang penulis wahyu disamping para penulis urusan-urusan lainya.[1]
Hadits Nabi telah ada sejak  awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya.
Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal  terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus". Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H).
Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah  terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut. Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang  hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama.
            Faktor-faktor yang menjamin kesinambungan hadits
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya kesinambungan hadits sejak masa nabi Muhammad sebagai berikut :
1.      Quwwat Al-Zakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadits-hadits dari nabi saw, dan ketika merekan menyampaikan atau meriwayatkan hadits-hadits tersebut kepada sahabat-sahabat lain, mereka menyampaikan persis seperti yang di dengar pada Rasul.
2.      Sangat hati-hati para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari rasulullah saw. Hal ini mereka lakukan karena merekan sangat khawatir, akan terjadinya percampuran hadits dengan Al-Quran. Oleh karena itu makan ada para sahabat yang sangat sedikit menghafal hadits dan meriwayatkanya. Termasuk umar bi khattab dan juga para sahabat ketika menyampaikan dan melafadkan hadits-hadits tersebut pebuh dengan ke hati-hatian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengucapanya. [2]
3.      Para sahabat sangat hati-hati dalam menerima hadits dari seseorang, bahkan tidak sembarangan. Para sahabat menerima hadits dari siapapun, kecuali jika perawi itu ada orang lain yang mendengar dari nabi saw, atau dari perawi lain diatasnya. Termasuk Abu bakar salah seorang sahabat yang sangat hati-hati dalam menyampaikan  hadis.[3]

B.     Hadits Pada Zaman Sahabat
            Pengertian Sahabat
Sahabat secara etimologis merupakan kata bentukan dari kata al-suhbah(persahabatan), bentuk isim masdar “Shahiba-yashabu”, yang artinya mengikuti,menyertai atau orang yang menyertai orang lain, sedikit atau banyak, yang digunakan untuk mengikuti pernyataanya dalam suatu kegiatan, baik dalamfrekuensi minimal maupun maksimal, sepanjang masa, satu tahun, satu bulan,satu hari, dan satu jam. Adapun pengertian sahabat menurut istilah para ulama’ berbeda pendapat :
1.      Menurut Usman ibn Shalih, sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi walaupun dia tidak dapat melihat dan memeluk Islam semasa Nabi hidup.
2.      Menurut ulama’ hadits, sahabat adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah .
3.      Menurut Ibn Hazm, sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasahdengan Nabi walaupun hanya sesaat, mendengar dari beliau walaupun hanyasatu kata, menyaksikan beliau dalam menangani satu masalah dan tidaktermasuk orang-orang yang munafik yang kemunafikannya berlanjut sampaipopuler dan meninggal seperti itu.
4.      Menurut Ibn Hajar, definisi sahabat yang paling shahih adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw, dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan iman juga. Masuk dalam kategori orang yang pernah ketemu Nabi Saw, orang yang lama bermujalasah atau sebentar saja bersama beliau, orang yang turut berperang atau tidak, orang yang tidak pernah melihat beliau dengan alsan tertentu seperti buta.[4] Dan pendapat ini merupakan pendapat yang mayoritas

Masa Penggalian hadits
            Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
            Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
            Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.[5]

Masa penghimpunan
            Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
            Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.
            Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhrimenggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
            Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
§  di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
§  di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
§  di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
§  di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
§  di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
§  di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
§  di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
§  di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
§  di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
§  di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
§  di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
§  - Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
            Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'.

            Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
1.       Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti : 
Metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan permasalahan pada Al-Qur’an. Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain :  ‘Apakah ada yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan  riwayat (Taqlil al-Riwâyah).
Seusai meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan نحو هذاكما قال  atau kata yang sejenisnya.
2.    Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya.
Mencari hadis dari perawi lain.
Meminta kesaksian selain periwayat.

Cara Meriwayatkan Hadis
            Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal meriwayatkan dengan lafzi adalah Abdullah bin Umar. Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.

C.    A’dalah Al-Sahabah
            Pengertian Al-‘Adalah
Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja a’dl dan sinonimnya adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertians ahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama.Menurut ibnu Sam’ani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a.Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
b.Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
c.Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar 
  dan mengakibatkan penyesalan.
d.Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.[6]
                   Dengan demikian, jika pada diri seorang rawi tidak ada jiwa yangadil dalam meriwayatkan hadits, maka akan berpengaruh negativeterhadap kesahihan hadits itu sendiri

            A’dalah As-Sahabat

Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil.Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara terus menerus dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amarma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw. dengan demikian keadilan sahabat akan berarti, karena para sahabat dijamin terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau kelupaan.
Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab kifayahnya mengatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi mengenai keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat sudah ditetapkan keadilannya oleh Allah Swt.[7] dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits, ayat-ayat tersebut  antara lain : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahliKitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (AliImran : 110)
           
            Dan perintah ini langsung tertuju kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu Adanya perbedaan pendapat mengenai keadilan sahabat, Imam Al-Nawawi menyatakan pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereka, khawatir akan menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah menegaskan keadilan.
            Pandangan Ulama’ tentang Keadilan Sahabat
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah di maklumi berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah juga memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab penta’dilandari Allah ebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadapyang ghaib.[8] Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn Salah, iamenjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak dipertanakan lagi. Hal ini sesuaidengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka semua adalah adil.18
Ulama’ Sunni juga menyepakati tentang keadilan sahabat, posisi sahabatsangat tinggi dalam pandangan mereka, dan mereka mengatakan bahwa sahabatitu tidak perlu diteliti keadilannya karena mereka semua adil. Dan pendapat iniditentang oleh sebagian tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin ‘Atha’ dan Umar binAbid, justru berpendapat bahwa suatu riwayat harus dibuang bila transmisinya berujung pada sahabat, tidak terkecuali Ali. Hal ini disebabkan mereka sama-sama pernah terlibat perang Jamal dan Siffin.
Adapun sebaliknya jawaban Ahl Bait terhadap argument Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kalangan sunni untuk merekomendasikan keadilan seluruh sahabat sebagai berikut : Seperti surat Ali Imran ayat 110, juga tidak tepat untuk dijadikan argument keadilan bagi seluruh sahabat Nabi. Mukhatabun (orangyang diajak bicara) ayat ini adalah ummat Islam secara umum dibandingkan dengan ummat lainnya, status sebagai umat terbaik diberikan oleh ayat tersebut kepada mereka jika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta beriman kepadaAllah swt, dan sebaliknya bila tidak atau bahkan melakukan kemungkaran bukan lagi ummat terbaik.
Argument lain oleh Ahlul Bait yang dijadikan rujukan adanya sahabat yang tidak adil adalah terjadinya peperangan di kalangan sahabat yaitu perang siffin, antara kelompok Ali dan Muawiyah











KESIMPULAN

1.      Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal  terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus". Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
2.      Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya dari para sahabat besar. sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
3.      Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja a’dl dan sinonimnya adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertians ahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil.Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara terus menerus dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amarma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw. dengan demikian keadilan sahabat akan berarti, karena para sahabat dijamin terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau kelupaan.




                                                                                      

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, M.’Ajjaj, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin. Birut : Dar Al-Fikr, 1978
Ibnu Hazm, “Al-Ishbah Fi al-Tamyiz al-Shahabah”, Mesir, 1323 H.
Totok Jumantoro, “Kamus Ilmu Hadits”, 1997. FF. Bumi Aksara.
Dr. H.M. Erfan Soebahar. Menguak fakta dan keabsahan Al-Sunnah. 2003, Prenada media Jakarta Timur.
G.H.A JuynBoll.  Melacak akar sejarah hadits Nabi. 2007, LKiS Yogyakarta.



[1] M.Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadist, hal. 150-152.
[2] Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, hal 84
[3] Shahih, Subhiy, Ulumul Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ilmi Al-Malayin, Cet.IX ) hal 21
[4] Ibnu Hazm, “Al-Ishbah Fi al-Tamyiz al-Shahabah”, (Mesir, 1323 H.), hal. 4

[6] Totok Jumantoro, “Kamus Ilmu Hadits”, (FF. Bumi Aksara, 1997), hal. 11

[7] Al-Khatib Al-Bagdady, “Kitab Al-Kifayah”, (Bairut : Dar al-Kutub, al-Ilmiah, 1988), 46
[8] Imam Al-Ghazali, “Al-Mustafa Ulum al-Usul”, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993), hal: 130