perkembangan hadits pada masa nabi dan sahabat

|

BAB I
PENDAHULUAN

Ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi: Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bisa diamalkan dengan benar dan tepat tanpa bantuan keterangan dari Sunnah Nabi SAW. Demikian yang dikehendaki Allah SWT atas agama ini.
Bukti sederhana saja, dapatkah kita melakukan shalat lima waktu dengan benar tanpa mempelajari Sunnah? Tentu saja tidak. Sebab Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci detail-detail cara melakukan shalat. Al-Qur’an hanya menjelaskan pokok-pokok masalah saja, di mana disebutkan bahwa shalat lima waktu adalah wajib hukumnya.
Itulah salah satu contoh yang melukiskan pentingnya pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah SAW. Mengingat pentingnya Sunnah ini, tak heran jika Imam Abu Hanifah berkata:”Tanpa Sunnah tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an.”
Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya Hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an sebagaimana Firman Allah Surah an-Nisa' ayat 80
Artinya: "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." 
Kemudian firman Allah SWT dalam Surah al-Hasyr ayat 7:
Artinya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah." Kemudian, Firman Allah SWT dalam Surah al-Anfaal ayat 20:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)." 
Jadi, mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya, oleh sebab itu segala macam hadits yang sudah teruji keshohihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengikuti dan mengamalkannya sebab hadits merupakan hasil penjelasan dari al-Qur'an itu sendiri.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya yaitu:
Artinya: "Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur'an dan Sunnhaku". (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah) 
Oleh sebab itu, memahami Hadits secara jelas dan hati-hati merupakan keharusan bagi umat Islam, selain memahami hadits maka harus diperhatikan tingkat kebenaran hadits tersebut sehingga kita dapat menentukan status hadits (Shoheh, dhaif, hasan dan lain-lain) maka kita dapat memilih mana hadits yang layak diungkapkan atau tidak.
Mempelajari hadits Nabi SAW mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya bahwa orang yang mempelajari dan menghafal hadits-haditsnya akan dianugerahi oleh Allah SWT wajah yang bercahaya, penuh dengan pancaran nur keimanan yang menandakan ketenangan hati dan keteduhan batin. Sabda beliau SAW:”Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, kemudian menghafalnya dan menyampaikannya ” (Abu Daud dalam Sunannya dan At-Tirmidzi dalam Sunannya).









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Pada Zaman Nabi.

Kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah di kenal sejak zaman Jahiliyah, walaupun masih sangat tervatas. Pada dasarnya pada masa rasulullah sudah banyak umat islam yang membaca dan menulis, bahkan rasul sendiri memiliki sampai 40 orang penulis wahyu disamping para penulis urusan-urusan lainya.[1]
Hadits Nabi telah ada sejak  awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya.
Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal  terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus". Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H).
Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah  terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut. Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang  hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama.
            Faktor-faktor yang menjamin kesinambungan hadits
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya kesinambungan hadits sejak masa nabi Muhammad sebagai berikut :
1.      Quwwat Al-Zakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadits-hadits dari nabi saw, dan ketika merekan menyampaikan atau meriwayatkan hadits-hadits tersebut kepada sahabat-sahabat lain, mereka menyampaikan persis seperti yang di dengar pada Rasul.
2.      Sangat hati-hati para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari rasulullah saw. Hal ini mereka lakukan karena merekan sangat khawatir, akan terjadinya percampuran hadits dengan Al-Quran. Oleh karena itu makan ada para sahabat yang sangat sedikit menghafal hadits dan meriwayatkanya. Termasuk umar bi khattab dan juga para sahabat ketika menyampaikan dan melafadkan hadits-hadits tersebut pebuh dengan ke hati-hatian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengucapanya. [2]
3.      Para sahabat sangat hati-hati dalam menerima hadits dari seseorang, bahkan tidak sembarangan. Para sahabat menerima hadits dari siapapun, kecuali jika perawi itu ada orang lain yang mendengar dari nabi saw, atau dari perawi lain diatasnya. Termasuk Abu bakar salah seorang sahabat yang sangat hati-hati dalam menyampaikan  hadis.[3]

B.     Hadits Pada Zaman Sahabat
            Pengertian Sahabat
Sahabat secara etimologis merupakan kata bentukan dari kata al-suhbah(persahabatan), bentuk isim masdar “Shahiba-yashabu”, yang artinya mengikuti,menyertai atau orang yang menyertai orang lain, sedikit atau banyak, yang digunakan untuk mengikuti pernyataanya dalam suatu kegiatan, baik dalamfrekuensi minimal maupun maksimal, sepanjang masa, satu tahun, satu bulan,satu hari, dan satu jam. Adapun pengertian sahabat menurut istilah para ulama’ berbeda pendapat :
1.      Menurut Usman ibn Shalih, sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi walaupun dia tidak dapat melihat dan memeluk Islam semasa Nabi hidup.
2.      Menurut ulama’ hadits, sahabat adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah .
3.      Menurut Ibn Hazm, sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasahdengan Nabi walaupun hanya sesaat, mendengar dari beliau walaupun hanyasatu kata, menyaksikan beliau dalam menangani satu masalah dan tidaktermasuk orang-orang yang munafik yang kemunafikannya berlanjut sampaipopuler dan meninggal seperti itu.
4.      Menurut Ibn Hajar, definisi sahabat yang paling shahih adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw, dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan iman juga. Masuk dalam kategori orang yang pernah ketemu Nabi Saw, orang yang lama bermujalasah atau sebentar saja bersama beliau, orang yang turut berperang atau tidak, orang yang tidak pernah melihat beliau dengan alsan tertentu seperti buta.[4] Dan pendapat ini merupakan pendapat yang mayoritas

Masa Penggalian hadits
            Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
            Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist.
            Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.[5]

Masa penghimpunan
            Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
            Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.
            Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhrimenggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
            Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
§  di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
§  di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
§  di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
§  di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
§  di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
§  di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
§  di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
§  di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
§  di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
§  di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
§  di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
§  - Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
            Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan Al Hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa Al Hadist tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu'.

            Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
1.       Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti : 
Metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan permasalahan pada Al-Qur’an. Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain :  ‘Apakah ada yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan  riwayat (Taqlil al-Riwâyah).
Seusai meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan نحو هذاكما قال  atau kata yang sejenisnya.
2.    Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya.
Mencari hadis dari perawi lain.
Meminta kesaksian selain periwayat.

Cara Meriwayatkan Hadis
            Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal meriwayatkan dengan lafzi adalah Abdullah bin Umar. Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.

C.    A’dalah Al-Sahabah
            Pengertian Al-‘Adalah
Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja a’dl dan sinonimnya adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertians ahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama.Menurut ibnu Sam’ani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a.Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
b.Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
c.Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar 
  dan mengakibatkan penyesalan.
d.Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.[6]
                   Dengan demikian, jika pada diri seorang rawi tidak ada jiwa yangadil dalam meriwayatkan hadits, maka akan berpengaruh negativeterhadap kesahihan hadits itu sendiri

            A’dalah As-Sahabat

Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil.Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara terus menerus dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amarma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw. dengan demikian keadilan sahabat akan berarti, karena para sahabat dijamin terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau kelupaan.
Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab kifayahnya mengatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi mengenai keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat sudah ditetapkan keadilannya oleh Allah Swt.[7] dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits, ayat-ayat tersebut  antara lain : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahliKitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (AliImran : 110)
           
            Dan perintah ini langsung tertuju kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu Adanya perbedaan pendapat mengenai keadilan sahabat, Imam Al-Nawawi menyatakan pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereka, khawatir akan menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah menegaskan keadilan.
            Pandangan Ulama’ tentang Keadilan Sahabat
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah di maklumi berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah juga memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab penta’dilandari Allah ebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadapyang ghaib.[8] Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn Salah, iamenjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak dipertanakan lagi. Hal ini sesuaidengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka semua adalah adil.18
Ulama’ Sunni juga menyepakati tentang keadilan sahabat, posisi sahabatsangat tinggi dalam pandangan mereka, dan mereka mengatakan bahwa sahabatitu tidak perlu diteliti keadilannya karena mereka semua adil. Dan pendapat iniditentang oleh sebagian tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin ‘Atha’ dan Umar binAbid, justru berpendapat bahwa suatu riwayat harus dibuang bila transmisinya berujung pada sahabat, tidak terkecuali Ali. Hal ini disebabkan mereka sama-sama pernah terlibat perang Jamal dan Siffin.
Adapun sebaliknya jawaban Ahl Bait terhadap argument Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kalangan sunni untuk merekomendasikan keadilan seluruh sahabat sebagai berikut : Seperti surat Ali Imran ayat 110, juga tidak tepat untuk dijadikan argument keadilan bagi seluruh sahabat Nabi. Mukhatabun (orangyang diajak bicara) ayat ini adalah ummat Islam secara umum dibandingkan dengan ummat lainnya, status sebagai umat terbaik diberikan oleh ayat tersebut kepada mereka jika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta beriman kepadaAllah swt, dan sebaliknya bila tidak atau bahkan melakukan kemungkaran bukan lagi ummat terbaik.
Argument lain oleh Ahlul Bait yang dijadikan rujukan adanya sahabat yang tidak adil adalah terjadinya peperangan di kalangan sahabat yaitu perang siffin, antara kelompok Ali dan Muawiyah











KESIMPULAN

1.      Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal  terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus". Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
2.      Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya dari para sahabat besar. sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
3.      Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja a’dl dan sinonimnya adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertians ahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil.Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara terus menerus dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amarma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw. dengan demikian keadilan sahabat akan berarti, karena para sahabat dijamin terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau kelupaan.




                                                                                      

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, M.’Ajjaj, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin. Birut : Dar Al-Fikr, 1978
Ibnu Hazm, “Al-Ishbah Fi al-Tamyiz al-Shahabah”, Mesir, 1323 H.
Totok Jumantoro, “Kamus Ilmu Hadits”, 1997. FF. Bumi Aksara.
Dr. H.M. Erfan Soebahar. Menguak fakta dan keabsahan Al-Sunnah. 2003, Prenada media Jakarta Timur.
G.H.A JuynBoll.  Melacak akar sejarah hadits Nabi. 2007, LKiS Yogyakarta.



[1] M.Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadist, hal. 150-152.
[2] Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, hal 84
[3] Shahih, Subhiy, Ulumul Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ilmi Al-Malayin, Cet.IX ) hal 21
[4] Ibnu Hazm, “Al-Ishbah Fi al-Tamyiz al-Shahabah”, (Mesir, 1323 H.), hal. 4

[6] Totok Jumantoro, “Kamus Ilmu Hadits”, (FF. Bumi Aksara, 1997), hal. 11

[7] Al-Khatib Al-Bagdady, “Kitab Al-Kifayah”, (Bairut : Dar al-Kutub, al-Ilmiah, 1988), 46
[8] Imam Al-Ghazali, “Al-Mustafa Ulum al-Usul”, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993), hal: 130

0 komentar:

Posting Komentar